GKR Hemas: Sultan Mengizinkan Saya Masuk DPD tetapi Melarang Berbisnis

GKR Hemas. (foto: DJ Setiawan/KBR68H)

GKR Hemas. (foto: DJ Setiawan/KBR68H)

Peran perempuan di masa kini sudah tidak bisa dipandang sebelah mata. Ada banyak sektor dalam kehidupan yang bisa dimasuki, tak terkecuali politik.  Meski begitu, peran tradisional, kalau boleh dibilang begitu, tak pernah mereka tinggalkan. Misalnya peran sebagai seorang isteri, seorang ibu dari anak-anaknya dan beberapa lainnya masih tetap menjalankan ikatan tradisi budayanya.  Satu di antara mereka yang begitu emansipatif adalah Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas. Isteri Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X ini berbincang kepada Jurnalis KBR68H Fia Anwar tentang bagaimana ia menjalani hari-hari. Hari-hari sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Ratu, isteri, ibu serta nenek dari cucu-cucunya. Bisa diceritakan ketika masa kecil apa cita-cita anda waktu itu?

Sebetulnya pada waktu kecil karena saya sebagai anaknya perwira tentara. Jadi kehidupan yang dengan saudara enam orang, jadi bertujuh kami dan ini menjadikan suatu keluarga yang cukup besar. Pendapatan ayah dan ibu saya tentu penuh perjuangan karena sangat kecil sebagai abdi negara dan ini memang tentu menjadi satu perjuangan kehidupan. Masa kecil saya adalah masa yang penuh dengan perjuangan hidup istilahnya, karena saya juga sempat menjadi anak perempuan satu-satunya dari tujuh bersaudara dengan didikan orang tua yang cukup keras. Jadi saya kira ini jadi sesuatu motivasi saya berikutnya pada saat saya menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Karena di dalam memberikan pendidikan kepada kami bertujuh itu juga menjadi sesuatu yang memotivasi saya walaupun saya sebagai ratu tetapi pribadi tidak bisa berubah karena terbentuk dari kecil.
Kabarnya anda juga hobi berkebun, memelihara hewan. Betulkah?
Kebetulan ayah saya penyayang binatang dan saya juga hobi untuk menyayangi binatang itu. Pertama adalah saya suka ikan, anjing, karena binatang itu sangat lebih dekat apabila kita bisa berkomunikasi dengannya. Burung juga, sampai pada saat saya harus pindah ke keraton semua kandang burung saya bawa. Ikan sampai sekarang buat saya adalah merupakan sesuatu yang membawa saya untuk lebih tenang. Karena ini semua bentuk daripada karakter masing-masing hewan, kalau kita lihat anjing itu lebih setia dan lebih memahami. Kalau burung menjadi hiburan yang sangat luar biasa, apalagi kalau dia sudah mulai berbunyi di pagi hari itu merupakan semangat buat saya. Cuma sayang di Jakarta saya tidak bisa menikmati karena dari pagi sampai malam saya penuh dengan kesibukan. Jadi kalau pulang hari Jumat sampai Minggu itu merupakan hari untuk refreshing saya dengan segala kegiatan dan kebun itu merupakan salah satu hobi saya. Karena kebetulan pada saat itu saya bersekolah di arsitektur pertamanan, jadi rumah saya dulu lebih banyak pasirnya sekarang lebih banyak pohonnya.

Anda menjadi ibu dari lima putri. Pelajaran penting apa yang ditanamkan kepada mereka?

Walaupun anak-anak saya perempuan mereka punya kewajiban untuk membawahi beberapa bagian yang ada di Keraton Yogyakarta. Misalnya masalah budaya, tata cara, kemudian bagaimana mereka terjun mendampingi adik-adiknya sultan untuk masalah pertanahan, peraturan-peraturan keraton. Tapi yang jelas bahwa saya yang pertama selalu memberikan penuturan kepada mereka bahwa kehidupan perempuan yang bisa dinikmati oleh ibunya hanya pada usia 21-40 tahun. Karena kita sadar bahwa yang paling produktif untuk dirinya sendiri, baik itu nanti punya putra atau melakukan kehidupannya, saya kira itu banyak hal yang bisa untuk dirinya sendiri tidak panjang. Karena begitu memasuki 40 tahun ke atas pasti mertuanya sakit, orang tuanya sakit. Tapi kalau dia sudah usia sekitar 60 tahun pasti merawat suaminya sakit atau apa. Kedua adalah setinggi apapun mereka melakukan aktifitas kehidupan tetap dia harus mendidik anak secara baik dengan tradisi yang tetap harus dipertahankan. Juga paling sedikit dia juga bisa membawa kehidupan keluarga itu lebih menghargai, baik itu menghargai suami maupun menghargai orang tua.

Bisa diceritakan sampai anda tertarik menjadi anggota DPD waktu itu seperti apa?

Kehidupan saya dari tahun 1970 saya sudah berkiprah di kegiatan sosial. Kemudian di tahun 1980-1990 saya merasa kegiatan yang saya lakukan selalu bergesekan dengan kepentingan politik. Jadi saya pikir saya harus suatu saat memasuki dunia politik karena kepentingan politik untuk kehidupan masyarakat saya kira cukup mempengaruhi, sehingga saya masuk ke dunia politik. Kenapa saya pilih Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia karena saya menganggap saya belum saatnya atau belum mampu untuk masuk di dalam dunia politik yang praktis seperti ikut partai politik. Jadi sampai saat ini saya masih independen, saya tidak berpihak atau tidak berafiliasi dengan partai politik. Sehingga itu akan lebih terfokus bagaimana saya melihat kepentingan daerah secara utuh, tidak ikut dalam golongan apapun sehingga dalam perjuangan saya murni untuk masyarakat banyak siapapun dia dari agama apapun, dari daerah manapun bagi saya Yogyakarta itu merupakan satu kota tujuan pendidikan dan sangat heterogen masyarakatnya.

Ketika mengutarakan niat untuk bergabung di DPD, apa komentar sultan?

Pertama memang beliau seorang yang sangat bijaksana juga moderat. Dia tahu bahwa kapasitas istrinya beliau mengetahui betul kapasitas istrinya dan memberi cukup banyak kesempatan kepada saya baik itu pertama saya berkiprah di kegiatan sosial. Hanya satu saya yang tidak boleh yaitu berbisinis, karena begitu masuk ke kehidupan sosial kalau berbisnis tidak pernah untung dan itu juga bukan bakat saya. Jadi beliau langsung memberikan izin dan tentu izin dari suami juga izin dari anak-anak itu saya kira sangat menentukan langkah saya maju ke dunia politik.

Kalau pendapat lingkungan dalam keraton seperti apa?

Setelah sepuluh tahun saya di keraton saya pikir kegiatan rutinitas di keraton itu tidak seperti zaman dulu. Dia sebagai seorang istri harus melakukan kegiatan tradisi yang cukup banyak dan upacara-upacara, termasuk memberikan peraturan kepada yang tinggal di keraton. Saya kira saya menata mulai dari saya masuk keraton sampai dengan saya melakukan kegiatan sehari-hari saya melihat mungkin keraton dengan tradisi itu kehidupannya tidak seperti zaman dulu. Sehingga mereka harus lebih praktis didalam menjalankan tradisi tapi tidak menghilangkan tradisi itu sendiri, jadi tradisi tidak kita tinggalkan. Setinggi-tinggi dan sejauh anak saya bersekolah ke Amerika maupun ke Inggris tapi tetap mereka begitu ada upacara adat mereka harus melakukan dan juga ada acara-acara adat yang lain mereka juga harus menggunakan kain dan harus berbahasa Jawa halus. Saya kira ini menjadi satu kekuatan bagi kami untuk mempertahankan tradisi dan budaya. Jadi bagi saya dengan kehidupan yang sudah lebih simpel lagi di keraton saya kira ini merupakan sesuatu yang kesempatan saya untuk meminta saya bisa aktif di luar, kalau dipikir kaki saya satu di dalam satu di luar.  Karena saya masih bisa ikut membantu masyarakat sebatas kemampuan saya.

Editor: Doddy Rosadi

Sumber: http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/2867627_4215.html

Leave a comment